Petruk Dadi Ratu

Ditulis oleh Golput (swingvoters)
Bimo Cahyadi.

Indonesia yang sedari saya dilahirkan sudah terkenal dengan jargon negara Kaya, kaya akan berbagai sumber sumber penghidupan baik Alam maupun manusianya. Hingga pepatah Jawa mengatakan bahwa Indonesia adalah negeri yang gemah ripah loh jinawi. Negeri yang mampu memikat Portugis, Belanda, Inggris dan negara2 lain untuk berusaha menguasai kekayaanya.

Sampai pada titik ini saya bertanya, lantas definisi Kaya yang dimaksud seperti apa? Kenapa angka kemiskinan masih terus bertahan pada digit digitnya setiap tahun, menyemarak semburat dibelakang pemandangan gedung2 bertingkat.

Kenapa pundi pundi hutang selalu meningkat setiap tahunya, ditengah meningkatnya tarikan2 negara akan segala macam bentuk pajak, naiknya harga listrik, dilepasnya harga BBM kepada mekanisme pasar? Bukankah 2 perusahaan plat merah tsb adalah Monopoli sempurna. Kenapa masih merugi saat subsidi sudah dihabisi. Lantas,
Apakah yang disebut kaya adalah yang bisa selalu menambah hutang?

Kenapa kita masih beli beras berjuta juta Ton setiap tahunya dri negara lain, saat berjuta juta petani kita menjerit karena hasil panenya terjual dengan harga sangat murah. Saat jutaan hektare lahan kita masih tertidur tidak produktif, entah lahan itu masih atas nama rakyat atau sudah menjadi bagian dri segelintir penjajah Feodal berwajah baru. Lantas,
Apakah yg disebut kaya adalah tidak bisa memenuhi kebutuhan piring nasinya sendiri?

Kenapa universitas2 yg harusnya menciptakan lulusan berkualitas malah mghasilkan lbh banyak pencari kerja dan akhirnya pengangguran, saat wisuda yg harusnya menjadi kebanggaan orang tua hanya bertahan sekejap, lalu berubah menjadi kekhawatiran akan pengharapan pekerjaan yang layak. Lantas,
Apakah disebut Kaya, kalau bekerja saja menjadi suatu kemewahan?

kenapa dan masih banyak kenapa kenapa yang lain.

Pernahkah kita berpikir 5 tahun kebelakang?
Begitu banyak pekerjaan yang telah diselesaikan oleh Pak Jokowi di berbagai bidang. Lantas apakah pertanyaan2 tadi masih layak untuk kita tanyakan saat ini?

Kalau jawabanya masih, berati anda dan saya punya persamaan. Persamaan kekhawatiran akan masa depan bangsa, persamaan kecemasan tentang keberlangsungan hidup anak cucu kita di bumi Indonesia dengan layak.

Jokowi presiden rakyat, yang dihasilkan dri rahim rakyat. Merangkak dalam tangga kehidupanya sebagai pengusaha yg diwarisi pendahulunya. Begitupun karier politiknya, merangkak dri tingkat kota hingga smpai istana negara.

Kharisma wong cilik melekat tak terelakan, hingga jabatan tertinggi republik ini ikut dikecilkan dengan istilah petugas partai.
Terlalu banyak kepentingan dibelakang pak Jokowi sebagai petugas partai. Mereka paham cara memenangkan perlombaan, memasang pion yang mewakili mayoritas rakyat mampu menarik lumbung suara, disaat 10 tahun sebelumnya rakyat diberikan sajian formalitas militeristik atas gaya kepempinan Pak SBY.

Euforia wong cilik yg dilambangkan sebagai petruk dalam mitologi jawa sebagai abdi dalem sangat terasa. Rasa keterwakilan, keberpihakan dan kesamaan nasib mengantarkan petruk menjadi raja. Dengan menyamarkan petruk sebagai Prabu ketrunan ningrat

Euforia petruk menjadi Ratu ternyta tidaklah lama, karena ternyata petruk merubah segala tatanan kerajaan, kekacauan terjadi dimana mana, ketidak adilan dirasakan rakyat. Sang Ayah, Semar mengetahui gelagat si petruk dan lantas menyadarkan petruk untuk bertobat dalam penyamaranya sbgai Ratu.

Masih relavan kah kisah petruk jadi ratu kita sematkan di era saat ini? Saat pertanyaan2
Tadi diatas masih relevan anda tanyakn, berarti masih relevan bahwa kisah petruk jadi ratu adalah sebuah sindiran atas ketidak mampuan atau ketidak becusan pemimpin dalam mengelola suatu kepentingan.

Note:
Selamat berpesta demokrasi 2019,
Enjoy and have fun.

Komentar

Postingan Populer